Jakarta (ANTARA News) - Sebelum merebaknya isu pemanasan global, di kalangan ilmiah dipahami bahwa air laut merupakan penyerap karbon (carbon sink).

Namun dengan berkembangnya ilmu pengetahuan sebagai hasil dari berbagai riset tentang pemanasan global dan dampaknya, muncul pemahaman baru bahwa laut tak lagi sebagai penyerap karbon, melainkan sudah berada pada posisi sebagai penghasil karbon bersih (net carbon source).

Sesungguhnya laut dapat berfungsi sebagai penyerap karbon (carbon sink) dan juga sebagai penyedia karbon (carbon source) ke atmosfer, tergantung kondisinya.

Karbon yang diserap maupun yang dilepas ke atmosfer berada dalam bentuk gas karbon dioksida (CO2). Laut akan menyerap karbon bilamana tekanan parsial gas karbon dioksida di atmosfer lebih tinggi dari tekanannya di dalam air laut.

Sebaliknya, laut akan melepas karbon apabila tekanan parsial gas karbon dioksida di dalam air laut lebih tinggi dari tekanannya di atmosfer. Laut berfungsi sebagai penyerap karbon (carbon sink) dalam dua bentuk yakni melalui serapan pasif dan aktif.

Pada serapan aktif, fitoplankton (tumbuhan mikro yang berada di kolom zona cahaya air laut) dengan kandungan klorofilnya dan bantuan sinar matahari memanfaatkan gas karbondioksida untuk proses fotosintesis dan menghasilkan gula (karbohidrat) (H2O + CO2 + cahaya + klorofil ----> C6H12O6 + 6O2).

Sedangkan pada serapan pasif, gas karbondioksida akan larut dalam air laut secara alami dengan mudah dan cepat serta membentuk asam karbonat (H2O + CO2 ----> H2CO3).

Reaksi bolak-balik dalam proses ini juga berlangsung dengan cepat sehingga sulit membedakan antara asam karbonat dan karbondioksida dalam air. Air laut yang dingin serta banyak pergolakan (turbulent) cenderung menyerap karbondioksida dari atmosfer sementara air laut yang lebih hangat serta pergerakan airnya yang lebih tenang cenderung melepas karbondioksida ke atmosfer.

Pada awal tahun 1990-an, laut diduga sebagai suatu net carbon sink dengan Lautan Atlantik Utara sebagai penyerap terbesar sekitar 60% dari total laut dunia. Proses pertukaran gas karbondioksida secara pasif kurang penting dibandingkan dengan proses pertukaran secara aktif.

Proses fotosintesis merupakan aktivitas carbon sink sebaliknya proses respirasi (penguraian gula menjadi zat lain untuk menjalankan metabolisme tubuh) oleh organisme lainnya di laut, merupakan aktivitas carbon source.

Fitoplankton merupakan alga hijau berukuran mikroskopik dan berkembang dengan cepat dalam kolom air laut pada kondisi lingkungan dan unsur hara yang cukup.

Dengan demikian, perairan dengan populasi fitoplankton yang baik akan bekerja efektif sebagai carbon sink. Sebaliknya, bila proses respirasi oleh semua komunitas mahluk hidup di kolom air laut melebihi proses fofosintesis, maka kondisinya menjadi carbon source.

Bilamana laju proses fotosintesis lebih besar dari laju respirasi yang pada kondisi normal terjadi di laut maka net carbon sink akan terjadi dan sebaliknya pada kondisi tidak normal menjadi net carbon source.

Secara teori, apabila populasi fitoplankton di laut makin meningkat maka penyerapan gas karbondioksida dari atmosfer juga meningkat sehingga laut bisa menjadi carbon sink.

Pada tahun 1980-an, John Martin seorang ahli oseanografi dari Moss Landing Marine Laboratories (telah meninggal tahun 1993) mengatakan bahwa penambahan zat besi ke perairan yang cukup unsur hara namun kurang zat besi akan merangsang pertumbuhan fitoplankton.

Hipotesis ini telah terbukti kebenarannya. Hasil penelitian lainnya juga menunjukkan hal yang sama yaitu dengan penambahan zat besi ke dalam perairan di Laut Selatan menunjukkan perkembangan fitoplankton yang nyata dan tingkat penyerapan gas karbondioksida juga meningkat signifikan dari atmosfer (Watson et al, 2000; Watson, 1997).

Pada tahun 1988, John Martin menyarankan bahwa penambahan zat besi buatan ke laut dapat merobah iklim dunia dalam artian mengurangi gas CO2 dari atmosfer secara nyata.

Namun demikian para ilmuwan banyak yang tidak setuju dengan cara seperti itu sebagai upaya untuk mengurangi gas karbondioksida di atmosfer karena beberapa faktor antara lain faktor moral dan dampak pencemaran lingkungan sebagai ekses dari zat besi itu sendiri mengingat zat ini adalah logam berat.

Tood Wood, Christopher Guay, dan Phoebe Lam (2009) dari Laboratorium Lawrence Nasional Berkeley juga menemukan bantahan terhadap hipotesis John Martin bahwa penambahan zat besi ke laut tidak akan merobah iklim dunia.

Penelitian mereka dengan proyek SOFeX (the Southern Ocean Iron Experiment) dilaksanakan mulai 2002 di perairan antara New Zealand dan Antartika dengan menggunakan alat deteksi carbon explorer pada kedalaman 800 meter serta menguji hipotesis apakah penambahan zat besi ke perairan akan merobah iklim dunia.

Dari penelitian ini diperoleh hasil mengejutkan bahwa sebagian besar karbon dari hasil blooming fitoplankton hasil penambahan zat besi tersebut tidak pernah sampai ke perairan dalam (deep ocean).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sekalipun terjadi blooming fitoplankton sebagai akibat penambahan zat besi namun tidak berpengaruh nyata terhadap absorpsi gas CO2 dari atmosfer karena tidak terjadi presipitasi karbon ke laut yang lebih dalam secara nyata.

Di lain pihak, peningkatan penyerapan gas CO2 secara alami oleh air laut seyogianya tidak menguntungkan karena hal ini akan meningkatkan derajat keasaman (pH) air laut.

Bila derajat keasaman air laut meningkat maka hal ini akan menggangu kehidupan organisma laut lainnya terutama ikan.

Pemanasan Global

Pemanasan global yang terjadi belakangan ini sebagai akibat meningkatnya emisi gas karbon ke atmosfer telah mengakibatkan peningkatan suhu udara maupun suhu air laut secara nyata.

Hal yang lebih penting dari dampak pemanasan global adalah meningkatnya suhu air laut yang mengakibatkan kemampuan air laut untuk menyerap gas karbondioksida menjadi berkurang.

Gas karbondioksida mempunyai tingkat kelarutan dua kali lebih besar pada air dingin dibandingkan dengan air hangat. Laju fotosintesis dan respirasi juga sangat tergantung pada suhu.

Pada suhu yang relatif tinggi, laju fotosintesis dan laju respirasi sama-sama meningkat namun laju respirasi meningkat lebih cepat dibandingkan dengan laju fotosintesis sehingga pelepasan gas karbondioksida menjadi lebih besar dibandingkan dengan penggunaannya dan menyebabkan laut menjadi net carbon source.

Hasil penelitian Lefe`vre et al. (2004) di Lautan Atlantik Utara menunjukkan bahwa tekanan parsial gas karbondioksida dalam air laut telah meningkat lebih cepat dibandingkan dengan tekanan parsialnya di atmosfer khususnya pada saat musim panas yang mengakibatkan peningkatan pelepasan gas karbondioksida ke atmosfer, padahal sebelumnya daerah ini dikenal sebagai net carbon sink.

Hal yang sama juga ditemukan oleh CNRS (2009) di Lautan Hindia Selatan. Le Quere et al. (2007) juga menyimpulkan bahwa penyerapan gas karbondioksida oleh Lautan Selatan telah melemah sebesar 15% per dekade semenjak 1981 dan akan menjadi kurang efisien pada masa depan.

Hal ini akan membawa gas karbondioksida ke level yang semakin tinggi untuk jangka panjang. Pengurangan efisiensi penyerapan gas karbondioksida oleh Lautan Selatan disebabkan oleh peningkatan kekuatan angin sebagai akibat dari peningkatan gas rumah kaca di atmosfer dan pengurangan lapisan ozone jangka panjang di stratosfer.

Peningkatan kekuatan angin ini akan menyebabkan proses percampuran dan penaikan massa air laut dalam ke permukaan (upwelling) yang pada akhirnya meningkatkan pelepas gas CO2 ke atmosfer.

Hasil penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa lokasi upwelling cenderung menjadi lokasi net carbon source.

Carbon Source

Alan Koropitan (dosen Institut Pertanian Bogor/IPB) telah melakukan penelitian di Laut Jawa dan menyimpulkan bahwa Laut Jawa cenderung berfungsi sebagai net carbon source.

Hasil ini juga didukung dengan hasil penelitian lainnya yang dilakukan di beberapa lokasi perairan Indonesia. Menurut para ahli terumbu karang dan pemanasan global bahwa ekosistem terumbu karang juga berfungsi sebagai net carbon source.

Salah satu misi projet SeaWiFS Ocean Color Satellite adalah untuk menjawab pertanyaan apakah laut berfungsi sebagai carbon sink atau carbon source.

Dari hasil analisa data konsentrasi klorofil-a selama 10 tahun terakhir tidak ditemukan adanya peningkatan konsentrasi klorofil-a secara global namun sebaliknya ditemukan penurunan konsentrasi klorofil-a yang nyata khususnya di laut lepas sub-tropik (mid-gyres ocean) Vantrepotte and Melin, 2009.

Hasil analisis Jonson Lumban Gaol (dosen IPB) terhadap data SeaWiFS untuk perairan Indonesia 10 tahun terakhir, juga menunjukkan tren penurunan konsentrasi klorofil-a khususnya laut lepas (personal communication).

Hasil-hasil itu menunjukkan, secara umum, baik perairan Indonesia maupun perairan dunia, mengalami penurunan konsentrasi klorofil-a yang mengakibatkan penurunan penggunaan gas CO2 oleh fitoplankton dalam proses fotosintesis.

Kecenderungan penurunan konsentrasi klorofil-a serta pemanasan global yang mengakibatkan penurunan tingkat kelarutan gas CO2 dalam air laut itu dapat disimpulkan bahwa baik perairan Indonesia maupun global cenderung berfungsi sebagai net carbon source.


Post a Comment

 
Top