HARI INI, 21 November 2009, lebih dari 6 miliar penduduk bumi berefleksi mengenai tata interaksi mereka dengan ketersediaan sumber daya perikanan dan model pengelolaan global. Pada momentum bersejarah inilah, warga dunia dihadapkan pada dua krisis maha besar yang mengancam keberlangsungan kehidupan. Krisis yang sedang dialami umat manusia ini adalah: pertama, krisis pangan, termasuk di dalamnya ketersediaan sumber daya perikanan,
yang menjadikan lebih dari 1 miliar warga bumi menderita kelaparan akut (FAO, 2009). Di Asia Tenggara, krisis ini adalah malapetaka. Betapa tidak, dengan kekayaan aneka sumber pangan, wilayah Asia Tenggara justru dihadapkan pada kondisi kekurangan pangan dan gizi dua kali lebih besar dibandingkan dengan wilayah Sub Sahara Afrika. Penyebabnya adalah 75 persen produk perikanannya hanya diperdagangkan untuk memenuhi konsumsi penduduk Jepang, Amerika Serikat, Eropa, dan Cina.
Krisis kedua adalah krisis iklim. Tak hanya berdampak pada kian rusaknya sumber daya perikanan, tetapi juga telah merenggut 24.000 nyawa nelayan di lautan (FAO, 2008). Inilah krisis yang dihadapi oleh warga dunia. Tanpa pelaksanaan prinsip-prinsip keadilan perikanan dalam mengelola sumber daya kelautan perikanan dan pesisir, krisis terburuk sepanjang sejarah ini bakal terus menghilangkan nyawa manusia secara besar-besaran.
Kedua krisis di atas telah melanda dan terus meluas di seantero Indonesia. Di banyak pasar tradisional, ikan terubuk, tongkol, dan ikan-ikan karang yang memiliki kualitas protein tinggi dan menjadi hidangan konsumsi masyarakat, nyaris sulit ditemukan. Untuk mengatasi kelangkaan ini, pemerintah terus berupaya meningkatkan besaran angka impor perikanan. Di tahun 2008, volume impor produk perikanan sebesar 280.179,34 ton dengan nilai 268 juta dollar AS. Nilai impor itu naik lebih dari 100 persen dibandingkan dengan tahun 2007 yang hanya 160 juta dollar AS dengan volume impor 120.000 ton. Keputusan untuk mengimpor cakalang, tepung ikan, ikan patin, dan impor pangan lainnya inilah yang mengakibatkan keuangan negara sebesar lebih dari Rp50 triliun atau setara dengan 5,0 persen APBN terus tergerogoti. Padahal, Indonesia adalah negeri dengan anugerah kelautan perikanan yang besar dan beraneka ragam. Pada konteks inilah, kita melupakan pesan Presiden Soekarno (1901-1970) bahwa, “Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa. Apabila kebutuhan pangan rakyat tidak terpenuhi, maka malapetaka (akan terjadi)”.
Di tengah kesulitan inilah, ikhtiar negara memberikan perlindungan dan pemenuhan hak nelayan tradisional sebagai warga negara justru terabaikan. Akibat cuaca ekstrem, dalam catatan KIARA (Desember 2008 – Maret 2009), lebih dari 46 nelayan tradisional meninggal dunia di laut saat menjalankan misi mulia, yakni menyediakan protein bagi anak-anak bangsa dari Sabang sampai Merauke. Jika dibiarkan berlarut, kondisi ini akan berujung pada krisis berikutnya, yakni ketiadaan nelayan handal di bumi pertiwi. Betapa tidak, terus menyusutnya sumber daya perikanan, kian kerapnya penggusuran terhadap rumah tinggal kebudayaan dan ruang penghidupan nelayan, ancaman keselamatan jiwa akibat cuaca ekstrem, hingga kuantitas kemiskinan di wilayah pesisir yang terus meningkat seiring ketidakpedulian negara terhadap keberlanjutan hidup dan cita-cita keluarga nelayan, pada akhirnya akan melahirkan krisis nelayan dan hilangnya pengharapan dan optimisme di kalangan generasi muda untuk terus melanjutkan jati diri bangsa, yakni dengan mengukuhkan cita-cita menjadi nelayan handal yang setia menghidupi kekayaan tradisi bahari.
Mewujudkan keadilan perikanan
Dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, disebutkan bahwa, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia. Mengacu pada letak kepulauan Indonesia, tak terbantahkan jika sumber daya perikanan disebut sebagai pilar penting pemasok pangan nasional. Meski demikian, konsumsi ikan nasional hingga 2009 terbilang rendah, yakni 30 kg/orang/tahun, atau empat kali lebih rendah ketimbang konsumsi warga Jepang, sebesar 125 kg/orang/tahun.
Berpijak pada pelbagai krisis yang terus terjadi, peringatan Hari Perikanan Sedunia ini seyogianya dijadikan sebagai titik tolak pemerintah Indonesia untuk melakukan reorientasi kegiatan perikanan, dengan konsisten dan konsekuen melakukan: pertama, mengoreksi kebijakan ekspor gelondongan ikan nasional dan memperbesar upaya penuntasan praktek kejahatan perikanan, guna menyikapi dan mendukung upaya peningkatan konsumsi ikan nasional; kedua, memastikan perlindungan terhadap nelayan dan wilayah tangkap tradisionalnya; ketiga, segera merevisi kebijakan kelautan perikanan dan pesisir yang tidak sejalan dengan kaidah keberlanjutan lingkungan hidup dan bangunan sosial kemasyarakatan, di antaranya Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Undang-Undang Perubahan No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 5 Tahun 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Demikian pula dengan kebijakan terkini Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 mengenai pemberian insentif kepada sektor swasta melalui penghapusan pungutan retribusi perikanan yang jelas-jelas menabrak batas rasa keadilan bagi nelayan tradisional, dan dibukanya kembali kran ekspor ikan cakalang pada 11 November lalu, yang berpotensi besar merugikan ekonomi Indonesia, menghilangkan kemandirian usaha perikanan nasional, dan merusak keberlanjutan ekosistem laut dan ketersediaan pangan sumber daya perikanan nasional.
Untuk itu, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), sebuah organisasi koalisi LSM, organisasi massa, dan individu yang menaruh peduli atas keberlanjutan ekosistem laut dan ketersediaan sumber daya perikanan demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat mendesak dan berseru kepada penyelenggara negara untuk bersegera mewujudkan keadilan perikanan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
Pertama, pentingnya negara mengedepankan prinsip-prinsip keberlanjutan sumber daya ikan tanpa hutang, dengan tetap memprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan pangan nasional secara berdikari.
Kedua, pentingnya negara memberikan dan memastikan terpenuhinya hak-hak nelayan sebagai warga negara maupun hak-hak istimewa mereka sebagai nelayan tradisional, serta memberikan perlindungan maksimal atas wilayah perairan tradisionalnya.
Ketiga, pentingnya negara memahami kegiatan perikanan sebagai sumber pangan, pengembangan budaya nasional, dan sumber ekonomi kerakyatan.
Keempat, pentingnya negara memahami kegiatan perikanan secara utuh, dengan memaknai keterlibatan perempuan nelayan di dalam kegiatan perikanan sebagai subyek yang teramat penting.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:
M. Riza Damanik, Sekretaris Jenderal KIARA
Hp. +62818 773 515 / 0852 5599 9708 (sementara)
Email. riza.damanik@ gmail.com / kiara@kiara. or.id
Post a Comment