Seiring dengan arus perkembangan dan perubahan zaman, sebanyak 240 bahasa dari sekitar 650 bahasa daerah di Indonesia kini berada di ambang kepunahan.Laju kepunahan ini harus segera ditanggulangi, sebab jika suatu bahasa punah, maka akan hilang pengetahuan kita tentang suatu peradaban.

"Matinya bahasa berarti kita kehilangan kebudayaan dan karya seni. Matinya bahasa juga berarti terhapusnya ensiklopedia tentang pengetahuan manusia yang telah dihimpun dan ditempa dalam perjalanan sejarahnya, " kata Profesor Stephanus Djawanai, Guru Besar Bidang Linguistik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Selasa (15/12), di Ende , Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Stephanus berbicara ketika memberikan orasi ilmiah, di acara wisuda sarjana dan diploma Universitas Flores (Uniflor) periode Desember 2009 angkatan ke-23.Dari 500 guru besar di lingkungan UGM, Stephanus Djawanai merupakan guru besar ke-4 yang berasal dari NTT.

Menurut Stephanus, arus kepunahan terjadi antara lain karena tidak ada lagi penutur yang mendukung bahasa itu akibat semua penutur sudah meninggal dunia, atau karena pendukung bahasa yang ada kehilangan minat terhadap bahasanya sendiri karena dipandang kurang bergengsi atau karena bahasa itu terdesak oleh bahasa yang lebih kuat.

Dia mencontohkan, terkikisnya bahasa daerah karena perkembangan yang kuat Bahasa Indonesia ke dalam bahasa pergaulan (bahasa daerah). Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi negara atau bahasa nasional yang seharusnya digunakan dalam tataran f ormal, seperti di lingkungan kenegaraan, pemerintahan, lembaga pendidikan, maupun perkantoran.

Tapi sekarang Bahasa Indonesia juga berkembang ke bahasa pergaulan di masyarakat. Mungkin karena dianggap Bahasa Indonesia lebih menarik atau lebih bergengsi, ujarnya. Bahasa yang terancam punah itu juga banyak yang terdapat di wilayah NTT.

Salah satunya di daerah perbatasan antara Kabupaten Sikka dan Flores Timur, di Pulau Flores - bahkan di daerah itu terdapat satu bahasa kecil di lingkungan satu su ku, ujar Stephanus yang belum pernah diteliti oleh kalangan perguruan tinggi.

Guru Besar Linguistik UGM itu berpendapat perlu dilakukan penelitian kebahasaan, juga lebih banyak siaran di radio-radio, maupun tayangan televisi lokal dengan bahasa daerah.

Paling tidak lewat siaran radio dan tayangan televisi yang menggunakan bahasa daerah itu masyarakat juga dapat mengenal, dan menjadi sarana pembelajaran. Selain itu juga dapat diupayakan lewat muatan lokal di sekolah-sekolah dengan materi kurikul um yang berkualitas, bahkan dapat pula lewat ibadah.

Waktu saya kecil, di gereja di Ngada menggunakan bahasa daerah. Dulu ada yang namanya sura ngasi, buku berisi teks doa-doa, dan sura mebho, buku yang berisi lagu-lagu rohani dalam bahasa daerah. Tapi sekarang sudah tidak ada lagi, ujar Stephanus.
http://sukses-uang.blogspot.com

Post a Comment

 
Top