Putaran negosiasi iklim kembali berlangsung. Bagi Indonesia, perundingan kali ini sangat berarti, setelah sebelumnya menjadi salah satu penggagas sekaligus tuan rumah World Ocean Conference, 11-15 Mei 2009 di Manado, Sulawesi Utara. Puncak pencapaian pertemuan kelautan yang dihadiri perwakilan 140 negara dan Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut adalah ditandatanganinya Deklarasi Kelautan Manado yang butir ke-18 pernyataannya menegaskan bahwa ”Coral Triangle Initiative sebagai kerangka jalan untuk mempercepat teraihnya visi WOC dalam COP-15 di Kopenhagen, Denmark, 7-18 Desember 2009”.

Dalam konteks inilah, peran Indonesia diuji: (1) mampukah Indonesia mengawal dan memasukkan mandat WOC ke tengah perundingan. Isu kelautan selama ini terpinggirkan; (2) rasionalitas apa yang paling tepat untuk menempatkan laut ke dalam perundingan iklim dan apa alat ukur keberhasilannya.

Menilik inisiatif tingkat global dan regional yang mengemuka belakangan ini, keputusan memasukkan mandat WOC di Kopenhagen telah menemukan momentum dan ruangnya. Hal ini tersirat dalam laporan bertajuk ”Blue Carbon: The Role of Healthy Oceans in Binding Carbon” yang sengaja dikeluarkan oleh tiga lembaga resmi di bawah PBB, yakni UNEP (Program Lingkungan PBB), IOC-UNESCO (Komisi Kelautan Antarpemerintah pada Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB), dan FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian) menjelang berakhirnya Protokol Kyoto periode pertama pada 2012.

Laporan setebal 80 halaman itu merekomendasikan proposal Blue Carbon Fund sebagai upaya pengoptimalan peran laut dalam negosiasi iklim. Pada level regional, konsorsium CTI akan mengadakan CTI Business Summit, 18-21 Januari 2010 di Filipina.

Idenya, mempertemukan pejabat pemerintah enam negara anggota CTI: Indonesia, Filipina, PNG, Timor Leste, Kepulauan Solomon, dan Malaysia, dengan dunia usaha agar berinvestasi di kawasan CTI. Rupanya perlu investasi untuk menggunakan efektivitas ekosistem laut dalam siklus karbon, sekaligus komersialisasi atas nama carbon reduction. Namun, sebenarnya bagaimana dengan substansinya?

Reposisi substansi

Diagnosa yang keliru dipastikan menghasilkan keputusan yang keliru. Saat ini energi bangsa terkuras untuk membuktikan seberapa ampuh laut Indonesia menyerap karbon, sementara nelayan tradisional tetap pada kondisi krisis terparahnya.

Seperti dinyatakan oleh Alan F Koropitan, faktanya telah terjadi penurunan tingkat efisiensi laut dalam menyerap karbon antropogenik di atmosfer (Kompas, 30/11). Warga dunia perlu bahu-membahu menjaga agar itu tidak berbalik menjadi pelepas.

Laut tropis, seperti Indonesia yang ”sifat bawaannya” lebih sebagai pelepas karbon, juga harus dijaga peranannya menjaga jalur aliran dinamik massa air perairan global—the great oceanconveyer belt (Broeker, 1991); penyedia pangan bagi warga Indonesia, bahkan dunia; media transportasi; serta media inspiratif lahirnya pengetahuan dan budaya kebaharian. Jadi, premis laut sebagai penyerap karbon dalam negosiasi iklim Indonesia harus diletakkan sebagai jebakan, bukan peluang.

Parameter keberhasilan agenda kelautan di Kopenhagen tak terletak pada besaran karbon yang terserap di laut yang dikonversi ke nilai ekonomis, melainkan sebenarnya seberapa ampuh tindakan mengurangi dampak buruk perubahan iklim di laut. Tindakan-tindakan itu di antaranya, seberapa efektif ekonomi nelayan mampu terlindungi dari keterusikan iklim; seberapa besar pasokan pangan (baca: ikan) yang dapat tersedia secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan domestik, di tengah-tengah musnahnya karang akibat pemanasan global; serta seberapa besar kapasitas negara dalam melindungi dan mengurangi jumlah korban jiwa nelayan tradisional—46 orang pada Desember 2008-Maret 2009 (Kiara, 2009).

Upaya mereduksi dampak buruk bisa dimulai dengan memperbesar peran negara menyediakan informasi akurat yang mudah diakses kelompok nelayan—kapan bisa melaut dan kapan tidak, di mana lokasinya, dan alternatif apa yang bisa disediakan negara sebagai solusi penghidupan nelayan. Hal penting lain adalah menyediakan asuransi kepada nelayan sebagai bentuk apresiasi sekaligus motivasi kepada para nelayan untuk tetap beraktivitas.

Pada tahapan itulah diperlukan konsistensi dan koherensi kebijakan dilandasi paradigma negara kelautan. Dengan demikian, dampak perubahan iklim tetap diselesaikan pada diskursus tingkat global dan nelayan di kampung bisa tenang melaut!

Oleh: Riza Damanik

Post a Comment

 
Top