Bagaimana kita sebagai individu dan warga bangsa merenungi hidup pada tahun 2009? Bagaimana penghayatan dominan kita menyongsong tahun 2010?

Esensi pandangan tokoh-tokoh klasik Psikologi semoga masih relevan untuk membantu kita memahami diri. Di tingkat personal, kita masing-masing mempunyai persoalan: gagal dalam hubungan cinta, berkonflik di tempat kerja, dilecehkan, menghayati konflik pribadi, terjebak dalam ketakutan, tak kunjung menemukan pekerjaan, dan sebagainya.

Persoalan terdalam psikologi manusia pada akhirnya lebih terkait dengan penghayatan keberdayaan vs ketidakberdayaan. Konsep yang digunakan dapat berbeda-beda, Alfred Adler yakin manusia rentan menghayati inferioritas. Karen Horney bilang pengalaman sejak dini dapat membuat kita menghayati kecemasan dasar yang terus terbawa hingga dewasa.

Ketidakberdayaan akan dimaknai dan direspons secara berbeda-beda. Cara kita mengatasi persoalan sesungguhnya merupakan upaya untuk mengatasi rasa tak berdaya demi memperoleh (kembali) kekuatan diri.

Bila kita seolah selalu tersandung atau menghayati tema-tema utama persoalan

serupa, dan cenderung melakukan kesalahan sama dalam menyelesaikan masalah, kita perlu serius mempelajari diri sendiri. Apakah kita menampilkan pola respons yang sama yang tidak konstruktif? Rendah diri dan cari kompensasi dengan sok kuasa dan sok pamer?

Apakah kita malu dengan kondisi ekonomi yang terbatas dan malah berutang sehingga dikejar debt collector? Takut disakiti sehingga menghindar dari hubungan? Terluka lalu terjebak dalam promiskuitas seksual? Kecewa pada diri sendiri, lalu mengatasi dengan menghina orang lain dan pasangan? Selalu merasa menjadi korban paling menderita dan ingin menghukum orang lain dengan membunuh diri saja?

Kebermanfaatan sosial

Rasa tak berdaya sering diatasi dengan sikap kaku dan cara-cara yang berpusat pada diri yang sebenarnya tidak secara mendasar menyelesaikan masalah. Rasa takut mungkin membuat kita bertahan dalam hubungan menyakitkan atau sebaliknya malah selalu ingin menguasai orang. Kegamangan kita respons dengan menilai tinggi prestasi dan capaian materi, tampil ramah tetapi pilih-pilih teman dan sesungguhnya hanya untuk tujuan instrumental memperoleh keuntungan diri.

Cara-cara egoistik akhirnya menjadi ”neurotik”, memantapkan kebutuhan berlebihan yang tetap tak pernah sepenuhnya terpuaskan, malah menyisakan kekosongan. Adler mengatakan bahwa pada akhirnya, upaya menggapai superioritas secara bermakna adalah yang mengarah pada kebermanfaatan kita secara sosial. Melihat diri menjadi bagian dari konteks masyarakat yang lebih besar dan ikut melakukan sesuatu yang positif bagi komunitas. Erich Fromm menggunakan konsep ”manusia berorientasi produktif”.

Teori Abraham Maslow mengenai hierarki kebutuhan dan motivasi juga menjelaskan bahwa aktualisasi diri sebenarnya tidak bersifat egoistik, melainkan terarah pada keluasan dan kepenuhan hidup dalam dunia yang dihuni bersama. Untuk yang terlalu muak dengan diri sendiri, yakinlah bahwa kita punya banyak sekali sisi positif dan potensi yang dapat kita gali dan bagi untuk membahagiakan diri dan orang lain.

Produk masyarakat

Psikologi sering terkesan terlalu mikro, cuma sibuk dengan masalah individu yang dilepas dari konteksnya. Padahal, terkait ketidakberdayaan, di tingkat makro kita juga punya persoalan bersama. Fromm menyatakan bahwa kondisi masyarakat sangat berpengaruh terhadap karakteristik dan penghayatan psikologi individu dan kelompok-kelompok individu anggota masyarakat tersebut.

Berita-berita utama pada paruh akhir 2009 (semisal kasus Prita Mulyasari,

pertarungan ”Cicak-Buaya”, dan kasus Century) menjelaskan tema dominan kehidupan berbangsa. Tanpa ikut dalam hiruk pikuk evaluasi siapa benar atau salah, teramati jelas betapa tema penghayatan utama kita adalah kekecewaan, ketidakpercayaan pada hukum dan penguasa, kemuakan, kemarahan, dan mungkin pada sebagian orang, keputusasaan dan fatalisme.

Banyaknya cerita mengenai penyelewengan kekuasaan dan penindasan pada yang rentan menyebabkan masyarakat marah dan merasa tak berdaya. Bagaimana umumnya kita membangun kembali rasa berdaya? Mungkin dengan memilih sibuk dengan urusan diri sendiri, tak peduli orang lain, dan apabila memungkinkan, ikut memanfaatkan situasi.

Respons psikologis masyarakat yang tampil dominan besar akhir-akhir ini adalah dengan membangun generalisasi, pandangan hitam-putih dan ”sosok pahlawan” atau ”sosok sakral”. Cara ini adalah respons psikologis sangat manusiawi dan dapat menjadi kekuatan besar publik meski dalam realitasnya belum tentu benar atau berdampak konstruktif. Bila tidak hati-hati, cara pandang hitam-putih hanya menjebak kita masuk dalam persoalan-persoalan baru. Penguasa menjaga amanah adalah hal terpenting karena membangun kembali kepercayaan publik merupakan pekerjaan sulit.

Harapan

Kekuatan individu pasti terbatas. Tetapi, dalam berbangsa kita melihat gerakan-gerakan masyarakat yang sangat positif dan menghadirkan kesejukan. Ada gerakan damai melawan korupsi atau pengumpulan koin dukungan bagi Prita. Pada akhirnya, di tingkat pribadi ataupun dalam konteks makro semoga harapan tetap ada.

Sejauh kita terus membuka diri dan merawat nurani, pada akhirnya manusia adalah makhluk spiritual yang yakin akan Kekuatan Maha Besar yang akan membimbing langkah kita menuju kebaikan. Selamat menyongsong Tahun Baru 2010...!

http://sukses-uang.blogspot.com

Post a Comment

 
Top