PULAU kecil itu berjarak 3 mil atau sekitar 5 kilometer dari Bontang. Untuk mencapai ke sana, bisa menyeberangi laut melalui Pelabuhan Tanjung Limau, Bontang Utara. Jarak tempuhnya sekira 35 menit. Ongkosnya Rp 100 ribu sekali jalan dengan menggunakan kapal nelayan. Tiba di pulau itu, harus melalui jalan setapak dulu. Jalan itu serupa jembatan ala kadarnya yang terbuat dari jejeran kayu-kayu tua. Setelah melewati jalan itu, barulah terlihat pemukiman warga dan satu-satunya sekolah di tempat ini. Ya, SDN 011 Gusung. Lokasinya tepat dipojokkan pulau dan diapit rumah-rumah dari kayu-kayu tua di sekeliling pulau.
Saat tiba di halaman sekolah, jejeran rumput laut yang sedang dikeringkan warga terhampar di atas tanah. Luas hamparannya hampir menutupi setengah halaman sekolah. Tidak heran, kala media tiba, para siswa yang melewati halaman sekolah kadang harus jalan meloncat-loncat. Itu untuk menghindari terinjaknya rumput laut yang dikeringkan para nelayan. Rata-rata penduduknya nelayan. Kendati jauh dari kehidupan modern, mereka masih memelihara keinginan untuk mencerdaskan anak-anaknya, yakni dengan mengirimkannya ke pulau-pulau lain untuk belajar. “Itu yang kadang menguatkan semangat kami untuk bertahan,” ujar Ismail bendahara SDN 011 Pulau Gusung ini.
Menariknya, proses belajar-mengajar siswa di sekolah ini sedikit unik. Para siswa yang rata-rata warga Mamuju, Sulawesi Barat, tidak sepenuhnya pandai berbahasa Indonesia. Itu sebabnya, mereka sering menggunakan bahasa “ibu” dalam keseharian mereka di sekolah. Kata Ismail, dulu di periode awal sekolah ini berdiri, transformasi ilmu mata pelajaran untuk siswa terkendala lantaran soal ini. Itu sebabnya, kedatangan siswa di luar pulau, cukup membantu proses pembiasaan siswa berbahasa Indonesia.
“Lebih sering bahasa Indonesia itu kalau hanya di kelas. Tetapi jika sudah jam istirahat, bahasanya adalah bahasa mereka sendiri (bahasa Mamuju, Red.),” ungkap Ismail.
Media mencoba membuktikan ucapan sang guru itu. Ketika mengunjungi ruang kelas IV, beberapa siswa berbicara dengan bahasa yang asing didengar. Ketika mendekat, mereka terkejut. Beberapa di antaranya menjauh. Tapi, seorang bocah terbiasa dengan kedatangan media ini ke kelas mereka.
Media ini sengaja meminta Ismail menemani. Maksudnya, agar jika nanti ingin berbicara, tidak canggung. Lalu, tiba-tiba seorang siswa menyapa media ini dengan bahasa daerah setempat. “Sema ingko? Sema ngarammu? (Siapa kamu? Namamu siapa?, Red.),” ungkap siswa kelas V SDN 011 Gusung, Budiman Putra Simpatik.
Belum tuntas terjawab, sang bocah melanjutkan kembali pertanyaannya. “Diumba sapomu? Mengapa ko domai? (Tinggal dimana? Kenapa kamu ke sini?, Red.),” sambungnya. Media ini pun mencoba memperkenalkan diri, dengan dibantu Ismail. Mendengar penjelasan media ini, bocah itu pun tersenyum, dan mengajak beberapa temannya untuk mendekat dan berkenalan.
Media ini lalu melangkah ke belakang gedung sekolah. Di sudut itu, ada bangunan lain yang dibangun oleh salahsatu perusahaan yang beroperasi di Kota Taman. Bangunan 3 ruang yang difungsikan untuk ruang kelas dan perpustakaan. Rinciannya 2 kelas digunakan untuk belajar, dan 1 ruangan lagi digunakan untuk perpustakaan sekolah.
Media ini mencoba menengok ruang perpustakaan sekolah. Ukurannya, tak lebih dari 10 meter persegi. Uniknya, ruang perpustakaan SDN 011 Gusung juga difungsikan sebagai dapur sekolah. Maklum saja, di pulau Gusung, tidak ada warga yang menjual makanan serupa warung atau sejenisnya. Jadilah ruang dapur yang terbagi dengan ruang perpustakaan ini berfungsi untuk memasak mie ataupun nasi kala guru sedang lapar.
Di ruangan itu pula, terdapat beberapa siswa yang asyik membaca buku-buku perpustakaan. Jumlah koleksi buku perpustakaan, kata Ismail, sekira 450 buku dan didominasi oleh buku mata pelajaran. “Jarang sekali ada buku seperti komik di perpustakaan ini,” sebutnya.
Dari ruang itu, media ini mencoba bertanya kepada beberapa siswa kelas V, pakah diantara mereka pernah melihat secara langsung dan menggunakan Personal Computer (PC)? Jawabannya cukup menggelitik. “Pernah lihat saja, Kak. Lihatnya di buku,” ungkap Firna Matrirah, salahsatu siswa kelas V. Hal senada juga diungkapkan keenam rekan sekelas Firna. Yakni Aan Fadilla, Agus Saruni, Harianti Mandasari, Risman, Irfan, dan Bobi Sandi.
Sebagian siswa mengaku tidak tinggal di Pulau Gusung. Mereka kebanyakan tinggal di beberapa pulau-pulau terpencil di Bontang. Pilihan mereka menempuh pendidikan di negeri seberang akibat keterbatasan sarana pendidikan. Apalagi, diantara pulau yang ada di Bontang, SDN 011 Gusung dianggap sekolah yang paling besar.
“Warga di pulau ini juga dikenal sebagai nelayan terampil,” ungkap Ismail. Hasil tangkapan mereka memang kebanyakan dijual ke pasar. Dengan sumber nafkah dari alam ini, mereka pun semakin memiliki kemampuan untuk mencerdaskan anak-anaknya. Mereka tidak cukup puas dengan pendidikan yang hanya sekolah dasar, tapi harus bisa menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi.
kaltimpost.co.id (Senin, 26 Maret 2012)
Post a Comment