Pengaruh agama dan budaya Hindu-Buddha ke Indonesia diperkirakan sudah ada sejak awal abad pertama Masehi, kontak terjadi melalui hubungan perdagangan dan pelayaran. Menurut para ahli sejarah, agama dan budaya Hindu-Buddha tersebut dibawa oleh para pedagang dan pendeta. Kedatangan para pedagang dan pendeta ke Nusantara yang membawa agama dan budaya Hindu-Buddha menggunakan dua jalur, yaitu jalur darat dan jalur laut.
a. Melalui Jalur Darat
Sejak tahun 500 SM kegiatan perdagangan di Asia dilakukan melalui jalan darat. Rute perjalanan para penyebar agama Hindu-Buddha melalui jalur darat atau Jalur Sutera bersama para pedagang mulai dari India ke Tibet terus ke Cina, Korea, dan Jepang. Dari India utara, mereka masuk ke Bangladesh, Myanmar, Thailand, Semenanjung Malaka, kemudian ke wilayah Nusantara. Sejak abad ke-1 Masehi, jalur perdagangan darat dialihkan melalui laut karena tidak aman.
b. Melalui Jalur Laut
Para penyebar agama Hindu-Buddha datang bersama rombongan kapal pedagang mengikuti pelayaran dari Asia Selatan ke Asia Timur atau sebaliknya dari Cina ke India. Mereka melalui perairan Indonesia lewat Selat Malaka.
Perkembangan Kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha di Indonesia a. Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai merupakan kerajaan tertua di Indonesia. Terletak di Muara Kaman di daerah aliran Sungai Mahakam Kutai, Kalimantan Timur. Sumber sejarah kerajaan Kutai adalah 7 buah prasasti berupa yupa, yaitu tugu batu bertulis dari huruf dan tulisan yang dipahatkan pada yupa tersebut menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Para ahli sejarah memperkirakan bahwa yupa berasal dari awal abad ke-5 Masehi. Semua yupa tersebut dikeluarkan atas perintah Raja Mulawarman. Prasasti tersebut menceritakan silsilah raja-raja Kutai.
Pendiri kerajaan Kutai adalah Kudungga. Diperkirakan nama Kudungga merupakan nama asli penduduk lokal setempat yang mempunyai pengaruh kuat. Para ahli berpendapat bahwa pada masa pemerintahan Kudungga, pengaruh Hindu baru masuk ke wilayahnya. Dengan masuknya pengaruh Hindu, Kudungga mengubah struktur pemerintahan menjadi kerajaan dan menganggap dirinya raja.
Kudungga mempunyai anak bernama Aswawarman, yang diberi gelar Sang Ansuman (Dewa Matahari). Aswawarman mempunyai tiga orang putra, yang terkemuka di antara tiga putra tersebut adalah Mulawarman. Bila dilihat dari namanya, Aswawarman dan Mulawarman berbau (dipengaruhi) Hindu. Mereka dinobatkan menjadi raja-raja Kutai dengan cara Hindu.
b. Kerajaan Tarumanegara
Berdasarkan penemuan dari beberapa prasasti di wilayah sekitar Bogor, Banten, dan DKI Jakarta, terdapat sebuah Kerajaan yang bercorak Hindu, yaitu Kerajaan Tarumanegara. Dengan ibukota Jayashingapura, Kerajaan Tarumanegara diperkirakan muncul sekitar tahun 450 Masehi. Sumber-sumber sejarah tentang keberadaan Tarumanegara berasal dari berita asing dari zaman Dinasti Tang Cina dan beberapa prasasti.
Kronik Dinasti Tang memberi keterangan bahwa terdapat sebuah kerajaan bernama To-lo-mo, terletak di sebelah tenggara Cina. Kerajaan ini beberapa kali mengirim utusan ke Cina. Berita asing lainnya menyebutkan bahwa seorang pendeta Cina bernama Fa-Hien (414 M) dalam perjalanannya dari India kembali ke Cina, Fa-Hien terdampar di daerah pantai utara Pulau Jawa bagian barat, telah menjumpai masyarakat yang mendapat pengaruh agama dan budaya Hindu. Masyarakatitu diperkirakan bagian dari masyarakat kerajaan Tarumanegara.
Bukti yang lebih kuat tentang keberadaan Kerajaan Tarumanegara ditemukannya tujuh buah prasasti, dan dua arca Wisnu. Lima prasasti ditemukan di sekitar wilayah Bogor, satu prasasti di DKI Jakarta dan satu lagi di Banten. Adapun ke tujuh buah prasasti Kerajaan Tarumanegara adalah sebagai berikut. 1) Prasasti Ciaruteun
2) Prasasti Kebon Kopi
3) Prasasti Jambu
4) Prasasti Pasir Awi
5) Prasasti Muara Cianten
6) Prasati Tugu
Prasati Tugu Terdapat di Cilincing, Jakarta Utara, berbentuk batu bulat panjang, tertulis dalam bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa, tentang penggalian saluran air sepanjang 6112 tumbak, kurang lebih 11 km yang diberi nama Gomati. Juga disebutkantentang penggalian Sungai Chandrabaga oleh rakyat atas perintah Mulawarman. Menurut Prof. Purbatjaraka, prasasti Tugu adalah prasasti pertama yang menyebutkan penanggalan.
7) Prasasti Cidanghiang atau Prasasti Lebak
Prasasti Cidanghiang terdapat di tepi Sungai Cidanghiang, Pandeglang, Banten. Prasasti ini ditemukan tahun 1947. Bertuliskan tentang keagungan, keberanian, dan keperwiraan Raja Mulawarman sebagai raja dunia.
3. Kerajaan Sriwijaya
Sumber sejarah mengenai keberadaan Kerajaan Sriwijaya berasal dari berita asing Cina, India, berita pedagang Arab, dan 7 prasasti yang ditemukan di Sumatra bagian selatan dan Pulau Bangka. Menurut sumber berita Cina, berdasarkan keterangan seorang musafir Cina I’Tsing (651-696 M) yang pernah mukim di Sriwijaya selama enam bulan untuk menerjemahkan sejumlah buku agama Buddha dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Cina. Ia menyebutkan sekitar abad ke-7 Masehi, Sriwijaya merupakan kota berbenteng dikelilingi tembok.
Kota itu dihuni kurang lebih seribu orang pendeta Buddha yang mendalami ajaran agama Buddha. Para biksu ini belajar di bawah bimbingan Sakyakitri. Sumber lainnya berasal dari Dinasti Tang, menyebutkan di Sumatra pada abad itu telah ada beberapa kerajaan di Sumatra, seperti To-long-po-hwang (Tulang Bawang), Mo-lo-yeo (Melayu) di Jambi, dan Che-li-foche, sebutan untuk Kerajaan Sriwijaya. Dari berita pedagang Arab yang melakukan perdagangan di Kerajaan Sriwijaya.Mereka menyebut dengan istilah orang-orang Arab terhadap Kerajaan Sriwijaya seperti Zabaq, Sabay, atau Sribuza.
Dari berita India, bahwa Kerajaan Sriwijaya pernah menjalin hubungan dengan Kerajaan Nalanda dan Kerajaan Cola di India. Dalam prasasti Nalanda yang didirikan atas kerja sama antara Kerajaan Nalanda dan Kerajaan Sriwijaya, disebutkan bahwa Raja Nalanda, Paladewa, membebaskan lima buah desa dari pajak. Sebagai gantinya, lima desa itu harus membiayaiorang-orang dari Sriwijaya yang sedang menuntut ilmu agama Buddha di Nalanda. Sriwijaya juga menjalin hubungan dengan Kerajaan Cholamandala yang terletak di India Selatan. Hubungan putus setelah Raja Rajendra Chola, (1023-1024 M) melalukan serangan ke Sriwijaya.
Tiga prasasti yang ditemukan di dekat Palembang menceritakan berdirinya Kerajaan Sriwijaya pada tahun 683 Masehi. Pusat kerajaan terletak di dekat kota Palembang sekarang. Prasasti yang ditemukan di sekitar kota Palembang adalah Kedukan Bukit (684 M), Talang Tuo (684 M), dan Telaga Batu. Sedangkan di Pulau Bangka adalah prasasti Kota Kapur (686 M), dan di Jambi, prasasti Karang Berahi (686 M). Semua prasasti itu ditulis dalam huruf Pallawa dengan bahasa Melayu kuno. Di prasasti Ligor (775 M), menyebutkan Kerajaan Sriwijaya mendirikan pangkalan armada kapal di Ligor, Semenanjung Malaka.
Di masa kekuasaan Raja Balaputra Dewa, Kerajaan Sriwijaya mengalami zaman kejayaan, Balaputra dewa adalah raja dari Kerajaan Syailendra di Jawa Tengah. Balaputra Dewa bertikai dengan Pramodhawardhani (kakaknya) yang dibantu Rakai Pikatan. Balaputra Dewa kalah dan lari ke Sriwijaya. Ketika itu yang berkuasa di Sriwijaya adalah Dharma Setru (kakek Balaputra Dewa) yang tidak mempunyai keturunan. Maka diangkatlahBalaputra Dewa sebagai raja. Pada masa pemerintahan Balaputra Dewa, Sriwijaya menjadi besar, perdagangan dan pelayaran meningkat. Memiliki hubungan yang baik dengan kerajaan di sekitar Asia Tenggara, India, dan Cina.
Pada akhir abad ke-13, Sriwijaya mengalami kemunduran yang disebabkan oleh beberapa hal berikut.
- Serangan Kerajaan Colamandala dari India Selatan pada tahun 1017 dan 1025 M.
- Tidak adanya pemimpin Sriwijaya yang tangguh setelah Raja Balaputradewa meninggal, penerusnya tidak mampu menjalankan kebesaran Sriwijaya.
- Lepasnya daerah-daerah kekuasaan Sriwijaya, seperti tanah genting Kra di Semenanjung Malaka, berhasil direbut oleh Kerajaan Siam.
- Serangan Kerajaan Singhasari di bawah pimpinan Raja Kertanegara (1275 dan 1286 M). Raja Kertanegara melaksanakan Ekspedisi Pamalayu, untuk menguasai Kerajaan Melayu dan melemahkan posisi Kerajaan Sriwijaya di Selat Malaka.
d. Kerajaan Mataram Kuno
Berdasarkan prasasti Canggal yang ditemukan di Desa Canggal, barat daya kota Magelang, Jawa Tengah, diketahui adanya kerajaan Hindu dengan nama Mataram Kuno. Dalam prasasti yang berangka tahun 654 Saka (732 M) menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta, diketahui bahwa prasasti Canggal dibuat atas perintah Raja Sanjaya untuk memperingati berdirinya sebuah lingga yang menjadi lambang Dewa Siwa. Lingga itu didirikan di atas sebuah bukit di daerah Kunjarakunya yang kaya raya akan hasil bumi.
Daerah Kunjarakunya terletak di Jawadwipa. Mula-mula Jawadwipa diperintah oleh Raja Sannaha secara adil dan bijaksana. Setelah Sanna wafat, terjadi kekacauan yang baru berhasil dipadamkan setelah Sanjaya, anak Sannaha, naik tahta. Raja Sanjaya memerintah dengan bijaksana sehingga ia berhasilmemperluas wilayah kerajaan dan memakmurkan rakyatnya.
Selain prasasti Canggal, prasasti lain yang memberitakan keberadaan tentang Raja Sanjaya terdapat pula pada prasasti Balitung (Mantyasih) dan prasati Wanua Tengah III. Prasasti yang berangka tahun 907 M dan 908 M yang dibuat pada masa Raja Balitung menyebutkan bahwa Raja Sanjaya sebagai raja pertama, dalam prasasti Balitung disebutkan pula silsilah rajaraja Mataram dari Dinasti Sanjaya yang pernah memerintah, seperti berikut.
a. Raja Sanjaya dengan sebutan Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (717-746 M)
b. Rakai Panangkaran Dyah Sangkara (746 – 784 M)
c. Rakai Panunggalan/Panaraban (784-827 M)
d. Rakai Warak Dyah Manara (803-827 M)
e. Dyah Gula (827-828 M)
f. Rakai Garung (828 – 847 M)
g. Rakai Pikatan Dyah Saladu (847 – 855 M)
h. Rakai Kayuwangi (847 –855 M)
i. Dyah Tagwas (885 M)
j. Rakai Panumwangan Dyah Dewandra (885 – 887 M)
k. Rakai Gurunwangi Dyah Badra (887 M)
l. Rakai Watuhmalang Dyah Jbang (894- 898 M)
m. Rakai Watukara Dyah Balitung (898- 913 M)
Setelah Raja Sanjaya meninggal pada tahun 746 M, Kerajaan Mataram dipimpin oleh Raja Rakai Panangkaran Dyah Sangkara. Ia beragama Buddha. Sejak itulah agama Buddha berkembang di Kerajaan Mataram. Sebagai penghormatan terhadap Agama Buddha, Rakai Panangkaran mendirikan bangunan suci untuk memuja Dewa Tara. Bangunan untuk Dewa Tara itu sekarang disebut Candi Kalasan di desa Kalasan sebelah Timur Yogyakarta. Candi Kalasan merupakan candi agama Buddha. Ia juga membangun biara untuk menghormati para bhiksu dalam prasati Kalasan sekitar tahun 778 M yang ditulis dalam huruf Pranagari dan bahasa Sanskerta. Disebutkan bahwa Rakai Panangkaran menghadiahkan desa Kalasan kepada Sangha, adapun bangunan yang dimaksud adalah candi Kalasan.
Salah seorang raja yang memerintah Kerajaan Mataram setelah Rakai Panangkaran meninggal, adalah Raja Samaratungga berasal dari Dinasti Syailendra, anak dari Rakai Panangkaran. Samaratungga mempunyai anak bernama Balaputradewa dan Pramodawardhani. Pada masa pemerintahan Raja Sama-ratungga, agama Buddha berkembang luas di Jawa Tengah. Saat itu banyak didirikan bangunan agama Buddha yang besar, misalnya candi Borobudur dan candi Mendut.
Bentuk toleransi beragama tampak jelas pada masa Kerajaan Mataram Kuno, meskipun agama resmi adalah Hindu, tetapi umat Buddha dapat menjalankan keyakinannya dengan aman dan damai.
5. Kerajaan MajapahitBerdirinya Kerajaan Majapahit pada tahun 1293 M, tidak lepas dari runtuhnya Kerajaan Singhasari. Menurut Kitab Pararaton, pada tahun 1292 M terjadi pemberontakan di Singhasari. Pasukan Jayakatwang dari Kerajaan Kediri yang merupakan kerajaan bawahan Singhasari, melakukan penyerangan ke Istana Singhasari dan membunuh raja Singhasari, Kertanegara bersama pembesar kerajaan tewas. Menurut Prasasti Kudadu, setelah terbunuhnya Raja Kertanegara, menantunya, Raden Wijaya, berhasil menyelamatkan diri ke Madura berkat bantuan lurah desa Kudadu. Di Madura, Raden Wijaya mendapat perlindungan dari Aryawiraraja, Bupati Sumenep. Atas jaminan Aryawiraraja, Raden Wijaya mendapat pengampunan dari Jayakatwang dan mengabdi kepadanya. Sebagai tanda pengampunan dan pengabdian, Raden Wijaya diberi sebidang tanah oleh Jayakatwang di daerah Tarik yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah desa bernama Majapahit.
Pasukan Khubilai Khan dari Mongol berjumlah 20.000 prajurit mendarat di pelabuhan Tuban dengan tujuan membalas dendam penghinaan Kertanegara terhadap utusan Khubilai
Khan. Raden Wijaya memanfaatkan kesempatan itu untuk menyerang Kediri dengan menggunakan pasukan Khubilai Khan bersama pasukannya. Penyerangan pasukan gabungan ini berhasil menangkap Raja Jayakatwang. Dengan tipu muslihatnya, Raden Wijaya menyerang balik pasukan Mongol itu ke daerah Duha dan Canggu. Raden Wijaya kemudian menobatkan dirinya sebagai raja pertama Kerajaan Majapahit pada 1215 Saka atau 1293 M, dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana. Ranggalawe menjadi Adipati Tuban, Lembu Sora menjadi patih di Daha, Kediri, dan Nambi sebagai perdana menteri. Namun Ranggalawe dan Lembu Sora tidak puas dengan kedudukan yang diberikan oleh Raden Wijaya. Mereka memberontak kepada Raden Wijaya. Pemberontakan berhasil dipadamkan. Pada tahun 1309, Raden Wijaya meninggal dan diwujudkan dalam bentuk patung Dewa Wisnu dan Dewa Syiwa.
Jayanegara, putra Raden Wijaya kemudian dinobatkan sebagai Raja Majapahit. Dalam masa pemerintahan terjadi serangkai pemberontakan. Seperti pemberontakan Lembu Sora tahun 1311 M, pemberontakan Nambi 1316 M, pemberontakan Semi (1318) M, pemberontakan Kuti 1319 M. Pada pemberontakan Kuti, ibukota Majapahit diduduki oleh pemberontak sehingga raja terpaksa dilarikan ke daerah Bedander di bawah perlindungan pasukan penjaga istana Bhayangkari pimpinan Gajah Mada. Pasukan Gajah Mada kemudian berhasil menumpas pemberontak. Tahun 1328, Jayanegera tewas dibunuh oleh Tanca, seorang tabib istana. Tahta Kerajaan Majapahit diserahkan kepada Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani (1328 – 1350).
Pada masa pemerintahan Tribhuwana juga terjadi pemberontakan, dipimpin oleh Sadeng dan Keta tahun 1331 M. Berkat kecakapan Gajah Mada, pemberontakan dapat ditumpas. Gajah Mada kemudian diangkat menjadi Patih Mangkubumi (Perdana Menteri ) Kerajaan Majapahit. Gajah Mada bersumpah bahwa ia tidak akan menikmati buah palapa (amukti palapa) sebelum dapat menyatukan seluruh wilayah di Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit. Sumpah Gajah Mada dikenal sebagai Sumpah Palapa.
Raja berikutnya adalah Hayam Wuruk (1350-1389), putra dari Tribhuwanatungga dan Kertawardhana. Hayam Wuruk naik tahta menjadi raja Majapahit dengan gelar Rajasanegara. Didampingi oleh Patih Mangkubumi Gajah Mada. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, Gajah Mada merupakan salah satu tiang utama Kerajaan Majapahit dalam mencapai kejayaan dan kebesaran.
Setelah meninggalnya Hayam Wuruk, terjadi pertikaian antara Bhre Wirabumi, putra Hayam Wuruk dari selirnya diberi kekuasaan di Blambangan, dengan Wikramawardhana yang mengawini putri Hayam Wuruk yaitu Wikramawardhani. Wikramawardhani menyerahkan haknya atas tahta Kerajaan Majapahit kepada suaminya Wikramawardhana (1389-1429). Tentu saja Bhre Wirabhumi merasa berhak atas tahta itu meskipun ia anak dari seorang selir Hayam Wuruk. Terjadilah peperangan antara Bhre Wirabhumi dan Wikramawardhana.
Perang ini dikenal dengan sebutan Perang Paregreg (1401- 1406). Perang ini berakhir dengan tewasnya Bhre Wirabhumi. Terbunuhnya Bhre Wirabumi menimbulkan benih balas dendam dan pertikaian antarkeluarga raja makin mendalam. Wikramawardhana menyerahkan kekuasaannya kepada putrinya Suhita tahun 1429-1447. Setelah Suhita berhenti jadi raja, terdapat empat raja Kertawijaya 1447-1451, Rajasa Wardhana 1451-1453, Purwawisesa 1456-1466 dan Singhawikrwamawardhana 1466-1478.