Perubahan kromosom yang disebut "aneuploidy" dapat mengakibatkan kanker, sehingga mempertegas apa yang telah lama diduga oleh para ilmuwan, demikian temuan beberapa penelitian.
Pada hakekatnya semua kanker pada manusia memiliki sejumlah kromosom yang tidak normal, dan para ilmuwan telah lama menduga bahwa mutasi gen yang mendorong pemisahan kromosom secara keliru selama pembagian sel adalah penyebab berkembangnya tumor, kata para peneliti di Mayo Clinic, dalam satu pernyataan, yang disiarkan pada Senin (7/12)
"Dengan menggunakan gabungan model baru tikus bagi kanker manusia, kami dapat membuktikan bahwa aneuploidy mengakibatkan kanker dan membeberkan mekanisme terjadinya proses tersebut," kata ahli biologi kanker di Mayo Clinic dan penulis senior studi itu, Jan van Deursen, sebagaimana dilaporkan kantor berita Prancis, AFP.
Dalam uji-coba pada tikus, para peneliti tersebut mendapati bahwa satu sel kurang mampu untuk menekan tumor kalau ada mitosis atau pembelahan kromosom, yang mengasilkan misalignment atau misintegrasi, ketika satu sel adalah kromosom yang hilang.
"Sel tersebut kehilangan kemampuan untuk menekan tumor, yang menjadi bagian dari sistem kekebalan," kata jurubicara Mayo Clinic, Bob Nellis.
"Itu seperti hilangnya perangkat lunak anti-virus di komputer anda," kata jurubicara Mayo Clinic, Bob Nellis.
"Sel tersebut lebih cenderung mengatakan, `Datang dan tangkap saya` kepada kanker," katanya.
Apakah penyimpangan kromosom mengakibatkan kanker tergantung atas sejarah genetika atau keluarga orang yang bersangkutan serta pada jenis kanker, kata Nellis.
Di antara kanker yang ditemukan di dalam studi itu yang dipicu oleh "aneuploidy" adalah kanker usus besar dan kanker jaringan sistem getah bening.
Temuan itu, yang disiarkan di dalam jurnal "Cancer Cell terbitan saat ini, mengakhiri perdebatan yang berlangsung lama di bidang penelitian kanker mengenai apakah "aneuploidy" adalah penyebab kanker, atau disebabkan oleh itu.
"Karena kini kami memahami mekanisme yang memungkinkan aneuploidy berakibat kanker, itu akan lebih mudah bagi peneliti lain untuk membangun pengetahuan ini, dan mengincar obat baru yang sesuai," kata van Deursen, dalam satu pernyataan.
Di dalam studi lain, yang disiarkan di dalam "Journal of Cell Biology", Senin, para peneliti di National Cancer Institute (NCI) "meneliti kemungkinan bahwa pengaturan gen penyakit tertentu mungkin dimanfaatkan sebagai strategi diagnosis baru untuk membedakan jaringan ganas dengan yang normal".
Para peneliti itu mendapati beberapa gen di dalam jaringan kanker payudara ganas yang memiliki posisi berbeda di dalam inti sel dibandingkan dengan yang terjadi pada jaringan payudara normal.
Mereka juga mendapati bahwa posisi gen tunggal, HES5, memungkinkan mereka mengidentifikasi jaringan kanker payudara ganas "dengan ketepatan hampir 100 persen".
Temuan dalam studi tersebut membuka kemungkinan mengenai penggunaan posisi satu gen di dalam inti sel sebagai alat diagnosis baru, kendati para penulisnya mengakui bahwa studi yang lebih luas harus dilakukan lebih dulu.
Studi mereka mempelajari serangkaian 20 gen di dalam sel pada 11 payudara manusia normal dan 14 spesimen jaringan kanker payudara ganas.
"Jika disahkan di dalam jumlah yang lebih besar, kami meramalkan bahwa pendekatan ini mungkin adalah petunjuk molekular pertama yang bermanfaat mengenai kanker setelah mamogram ketidak-normalan," kata Tom Misteli dari "Center for Cancer Research" di NCI. Ia juga adalah penulis senior dalam studi itu.
Penggunaan posisi satu gen di dalam inti sel untuk mendeteksi tumor dapat "mengurangi kekeliruan manusia dalam membuat diagnosis karena metode tersebut memberi banyak catatan dan tidak dilandasi atas kriteris subjektif atau keahlian patologi perorangan yang melakukan penilaian dengan menggunakan mikroskop," kata studi itu.
Alat diagnosis baru tersebut takkan dibatasi pada kanker payudara, tapi dapat diterapkan pada setiap kanker --kondisi saat gen yang menyimpang dapat diidentifikasi, kata Misteli.
Post a Comment