Sedikitnya 51 nelayan di Sumatera Utara tewas sejak tahun 1983 akibat konflik yang dipicu beroperasinya pukat harimau di perairan Sumut. Sebanyak 15 nelayan juga mengalami cacat seumur hidup.
Ketua Serikat Nelayan Sumut (KSNS) Lahmudin Tampubolon di sela seminar tentang perdagangan internasional dan kesejahteraan nelayan, Senin (25/1), mengatakan, bentrok di laut akibat pukat harimau sudah berlangsung lebih dari 20 tahun dan terus dilaporkan kepada pemerintah. ”Potensi ini akan terus terjadi jika tidak ditangani,” tutur Tampubolon.
Tampubolon mengatakan, korban tidak hanya berasal dari nelayan tradisional, tetapi juga dari pihak pemilik pukat harimau. Di perairan Pantai Labu, misalnya, sedikitnya 16 orang menjadi korban.
Beberapa kasus lain adalah kasus di Gambus Laut, Batubara, pada 30 Juni 2004. Sebanyak sembilan orang tewas akibat konflik pukat harimau. Tahun 2007 ada lagi satu korban tewas dan cacat seumur hidup di Teluk Mengkudu, Serdang Bedagai (Sergai). Kasus terakhir terjadi tahun 2008 di Sialang Buah, Sergai, tetapi tak ada korban jiwa dalam hal ini.
Konflik terjadi karena nelayan tradisional dirugikan dengan beroperasinya pukat itu. Selain jaring nelayan tradisional banyak yang koyak, pukat harimau juga menghancurkan terumbu karang. Kapal pukat harimau juga banyak bertabrakan dengan perahu nelayan tradisional.
Saat ini diperkirakan di setiap kabupaten pesisir ditemukan sekitar 300 unit pukat harimau. Sementara di Belawan diperkirakan ada sekitar 500 unit pukat harimau yang beroperasi.
Konflik nelayan yang muncul di Sumut saat ini adalah konflik nelayan dengan penegak hukum terkait pengambilan kayu bakau di Kabupaten Langkat. Sebanyak 12 nelayan kini masih ditahan Polres Langkat karena menebang bakau di kawasan Desa Pasarawa dan Desa Securai Selatan, Kecamatan Gebang, Langkat, yang menurut status kawasannya adalah hutan produksi terbatas/tetap. Awalnya polisi menahan 14 nelayan, tetapi akibat diprotes warga, dua orang dilepaskan karena masih di bawah umur.
Tahjudin Hasibuan dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia mengatakan, semestinya petugas memberikan pelayanan hukum yang sama pada semua warga negara. Sedikitnya tiga perusahaan besar sejak tahun 2007 membabat ribuan hutan bakau di delapan kecamatan di kawasan pesisir Kabupaten Langkat dan menggantinya dengan tanaman sawit.
Menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Riza Damanik, konflik-konflik mendasar yang dialami nelayan sudah berlangsung puluhan tahun dari konflik alat tangkap, konversi lahan, hingga pencemaran laut. Kementerian Kelautan dan Perikanan lebih perlu memperbaiki situasi saat ini dengan menyejahterakan nelayan daripada menargetkan pada 2015 menjadi produsen ikan nomor satu di dunia. (WSI)
Sumber: Kompas
Belajar Dari Aceh
Yang bisa diambil hikmah/ pembelajaran dari Aceh yaitu ada hukum adat laut yang melarang pemakaian pukat harimau atau trawl. Meski kadang-kadang pukat itu juga beroperasi diwilayah pantai timur dan pantai barat aceh. monitoring up date saya, menjelaskan bahwa, pukat trawl yang beroperasi di aceh adalah miliki toke-toke china asal medan SUMUT. tahun lalu, sebanyak 70 unit pukat trawl yang dikelola nelayan setempat di serang oleh nelayan tradisional.
luar biasa sekali, chaos ini terjadi di lautan lepas. tidak ada korban jiwa, kecuali luka-luka kecil di kedua belah pihak. Namun, sekarang karena kasus yang sama, 5 orang nelayan trawl Nagan Raya, ditahan aparat setempat dan dilaporkan sudah p 21. Sialnya, mereka adalah pengupah saja, polisi justru membiarkan pemilik kapal bebas berkeliaran. Di negeri ini, keadilan memang mahal..yang besar mesti menang.
Sumber: Zulkifli
Sekretaris jendral
Asosiasi Saudagar Ikan Aceh
Post a Comment