Kemiskinan dan Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia

Saat ini, adalah saat tegang bagi para orang tua yang masih mempunyai kewajiban menyekolahkan anaknya, dalam melakukan kalkulasi kemampuan finansial dan keinginan menyekolahkan anaknya ke sekolah yang berkualitas, karena sekolah berkualitas identik dengan biaya mahal. Kemiskinan dan peluang melanjutkan studi ke tingkat yang lebih tinggi sering menjadi topik diskusi yang hangat setiap tahun. Namun persoalan itu tidak pernah tuntas terselesaikan. Intervensi pemerintah pada biaya pendidikan telah dilakukan antara lain lewat dana BOS, pemberian tunjangan profesi pendidik, subsidi sekolah RSBI dan SBI, dan lain-lain. Namun intervensi ini kelihatannya tidak pernah dapat menjawab permasalahan utama yaitu rendahnya kualitas sumberdaya manusia dalam menunjang pembangunan bangsa.

Kemiskinan yang diduga sebagai penyebab rendahnya kualitas sumberdaya manusia, merupakan salah satu topik yang sangat seksi diperbincangkan saat ini. Menurut data BPS 2010, jumlah penduduk miskin Indonesia adalah 13,33% dengan nilai garis kemiskinan Rp 211.726,-/kapita/bulan, termasuk biaya makanan dan non makanan. Pada saat ini, diluar masyarakat dibawah garis kemiskinan tersebut pun, masih muncul pendapat bahwa biaya pendidikan menjadi semakin mahal. Dengan alasan untuk menaikkan standar kualitas pendidikan, beberapa Sekolah Dasar dan Menengah tertentu bahkan menarik biaya pendidikan lebih tinggi dari pada biaya pendidikan perguruan tinggi, sehingga banyak anak-anak usia sekolah yang tidak dapat melanjutkan studinya di sekolah-sekolah yang berkualitas. Beberapa waktu yang lalu diberitakan bahwa di tingkat Perguruan Tinggi, mahasiswa saat ini hanya mampu membayar 1/10 hingga 1/6 dari biaya pendidikan yang sebenarnya. Di beberapa sekolah dasar dan menengah berstandar internasional, seorang murid harus membayar hingga satu setengah juta rupiah per bulan. Dengan keadaan seperti itu dapat dimengerti bahwa beberapa orang tua yang tidak mampu harus menjual tanah atau ternaknya yang menjadi sumber penghidupannya, hanya untuk membayar biaya sekolah anaknya, tanpa menghitung lagi apakah investasi itu akan kembali dengan nilai yang lebih tinggi sesudah anaknya selesai sekolah  dan bekerja nanti, sehingga dapat dikatakan telah terjadi proses pemiskinan bangsa, karena konsumsi untuk pendidikan melebihi kemampuan sebenarnya. Pernahkan kita sebagai bagian dari bangsa ini ikut berhitung, dan menyusun strategi peningkatan kesejahteraan bangsa lewat peningkatan kualitas pendidikan?

Program SBI dan RSBI, saat ini mulai dipergunjingkan, dipandang subsidi pemerintah kepada program internasionalisasi standar pendidikan ini tidak mencapai sasaran. Program pendidikan berstandar internasional ini dimaksudkan untuk mengantisipasi proses globalisasi, menyiapkan agar sebagian calon tenaga kerja Indonesia ini siap berkompetisi dengan tenaga kerja asing. Namun sering menjadi pembicaraan, bahwa program internasional ini hanya lebih menekankan pada pemberian pembelajaran dengan bahasa Inggris, dan sering ditemukan juga bahwa kualitas bahasa tenaga pendidiknya pun belum sesuai dengan standar internasional. Di sisi lain, ada kecenderungan bahwa lulusan sekolah internasional ini akan melanjutkan studinya ke perguruan tinggi di luar negeri, sehingga hasil subsidi pemerintah yang sangat besar ini lebih banyak dinikmati oleh Negara lain.

Mari kita lihat, apa yang telah dihasilkan pendidikan selama ini. Di dalam laporan BPS 2010, struktur angkatan kerja Indonesia condong pada tenaga kerja “un-skill”, angkatan kerja tidak pernah sekolah dan tidak tamat SD berjumlah 22,28%, angkatan kerja yang tamat SD berjumlah 29,22%, angkatan kerja yang lulus SMP berjumlah 18,90%. Bayangkan 70,4% angkatan kerja kita berpendidikan dibawah SMA/SMK, tenaga kerja yang tidak mempunyai kompetensi yang tegas, dengan pendapatan yang rendah. Angkatan kerja lulusan SMA/SMK sebanyak 22,32% dan lulusan perguruan tinggi hanya sebanyak 7,28% dari jumlah total tenaga kerja sebanyak 107.405.572 orang. Melihat data tersebut dapat dimaklumi bahwa ekspor tenaga kerja ke luar negeri sangat di dominasi oleh tenaga kerja kasar, sebagai pembantu rumah tangga dan kuli bangunan. Bagaimana kita bisa meningkatkan kesejahteraan, apabila proporsi angkatan kerja kita masih condong pada tenaga kerja “un-skill” ini? Beberapa orang berpendapat bahwa rendahnya ketrampilan tenaga kerja Indonesia dan rendahnya etos kerja telah menyebabkan banyaknya perusahaan asing meninggalkan Indonesia. Hal ini juga yang menyebabkan semakin menurunnya jumlah lapangan pekerjaan. Demikian pula rendahnya kualitas sumberdaya manusia Indonesia telah menyebabkan rendahnya nilai tambah produk pertanian, perikanan dan sumberdaya alam lainnya, sehingga kita tidak mampu mengolah produk mentah tersebut menjadi produk jadi yang mempunyai nilai tambah yang lebih tinggi.

Apa yang sebaiknya kita lakukan untuk mengatasi hal ini, mengingat jumlah penduduk Indonesia sebanyak 234 juta orang (BPS 2010), hampir separonya merupakan tenaga kerja, dan hanya 30% diantaranya yang berpendidikan SMA/SMK ke atas. Untuk itu diperlukan upaya kerjasama yang kuat antara pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkan sumberdaya yang berkualitas dan professional, lewat pendidikan dengan standar pendidikan tertentu. Mendorong semua penduduk usia sekolah untuk menyelesaikan wajib belajar 12 tahun, meningkatkan kualitas pendidikan hingga mencapai standar nasional yang diinginkan, mendorong penduduk yang mampu untuk menyelesaikan pendidikan yang lebih tinggi hingga mendapatkan kompetensi yang mendukung profesionalime standar kualitas tenaga kerja internasional. Di dalam laporan Human Development Index tahun 2010, Indonesia menempati rangking 108, dengan nilai HDI 0,60 dan rerata lama sekolah hanya 5,7 tahun dengan Gross National Income per kapita sebesar 3.957. Untuk mendorong terwujudnya sumberdaya yang berkualitas, tentunya kita harus berusaha meningkatkan rerata lama sekolah menjadi diatas 12 tahun. Tentu proses ini tidak semudah mendorong becak, karena selain dipengaruhi oleh kualitas institusi pendidikannya, proses pendidikan juga dipengaruhi oleh kemampuan dan semangat anak didik serta budaya yang diyakini sebagai pendukung suasana dan semangat proses pendidikan. Contoh yang menarik untuk diperhatikan adalah berkaitan dengan budaya pernikahan. Menurut data BPS 2010, umur perkawinan pertama seorang wanita di Indonesia rerata 13,40% pada umur 10-15 tahun, 33,41% pada umur 16 – 18 tahun, 41,33% pada usia 19 – 24 tahun, dan 11,86% pada usia diatas 25 tahun. Yang lebih menarik, persentase umur perkawinan sangat muda yang tinggi justru terjadi di pulau Jawa yang mempunyai penduduk hampir 60% dari total jumlah penduduk Indonesia. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, misalnya, 18,78% pada umur 10-15 tahun, 36,54% pada umur 16 – 18 tahun, 35,57% pada usia 19 – 24 tahun, dan  9,12% pada usia diatas 25 tahun. Keadaan ini dapat ikut memberikan kontribusi pada lemahnya upaya meningkatkan sumberdaya berkualitas mengingat perbandingan jumlah wanita dan laki-laki hampir sama, dan masih adanya peraturan yang tidak memperbolehkan siswa SMP dan SMA bersuami/nikah saat masih berstatus pelajar. Dapatkah kita mengubah budaya menikahkan wanita pada usia sangat muda, atau dapatkah kita mengubah aturan, agar wanita yang sudah nikah juga dapat sekolah di SMP dan SMA?

Sudah saatnya kita melakukan evaluasi diri terhadap kebijakan pendidikan bangsa ini, apa yang menjadi prioritas utama, mendorong internasionalisasi pendidikan sebagian masyarakat atau memeratakan kualitas pendidikan. Kerjasama semua komponen bangsa ini tentu sangat diperlukan mengingat adanya disparitas kemampuan akademik dan finansial di dalam struktur sosial bangsa kita.
 

sumber: Budiwignyosukarto's Room

Post a Comment

 
Top