Konsep Dasar Pengembangan Rawa Untuk Pertanian

 

Rawa adalah lahan dengan kemiringan relatif datar disertai adanya genangan air yang terbentuk secara alamiah yang terjadi terus-menerus atau semusim akibat drainase alamiah yang terhambat serta mempunyai ciri fisik: bentuk permukaan lahan yang cekung, kadang-kadang bergambut, ciri kimiawi: derajat keasaman airnya terendah dan ciri biologis: terdapat ikan-ikan rawa, tumbuhan rawa, dan hutan rawa. Rawa dibedakan kedalam 2 jenis, yaitu: rawa pasang surut yang terletak di pantai atau dekat pantai, di muara atau dekat muara sungai sehingga oleh pasang surutnya air laut dan rawa non pasang surut atau rawa pedalaman atau rawa lebak yang terletak lebih jauh jaraknya dari pantai sehingga tidak dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut. 
Tata Saluran KalTeng
Di Indonesia, lahan rawa diperkirakan seluas 33,4 juta ha, sekitar 60 % (20 juta Ha) diantaranya merupakan lahan rawa pasang surut dan 40 persen selebihnya (13,4 juta Ha) adalah lahan rawa non pasang surut. Dari hasil survey tahun 1984, seluas 9 juta Ha dari lahan rawa pasang surut diidentifikasikan potensial untuk pengembangan pertanian.

Sampai saat ini, sekitar 3,9 juta Ha dari lahan rawa dengan lokasi yang sebagian terbesarnya tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, telah direklamasi, utamanya untuk pengembangan lahan pertanian. Lebih dari 60 persen diantaranya (2,4 juta Ha) dikembangkan secara swadaya sebagai lahan pertanian oleh para petani pendatang dan penduduk lokal. Seluas kurang lebih 0,2 juta ha lainnya dikembangkan oleh swasta untuk perkebunan kelapa. Selebihnya sekitar 1,3 juta ha adalah lahan rawa yang semenjak awal tahun 70-an telah dikembangkan oleh pemerintah sebagai lahan pertanian dan permukiman dalam rangka menunjang program transmigrasi.

Pengembangan lahan pasang surut yang dilaksanakan yang dilaksanakan pemerintah pada tahap awal (tahap I) berupa pembangunan sistem drainasi terbuka, tanpa bangunan pengendali aliran air, dilengkapi dengan penyiapan lahan, rumah-rumah, jaringan jalan, jembatan, sekolah dan sarana kesehatan. Pada mulanya lahan ini menunjukkan produksi padi di sawah yang cukup tinggi, namun dalam perkembangan selanjutnya sistem drainasi yang sudah ada tidak segera diikuti dengan pembuatan pintu pengatur air, sehingga degradasi lahan mulai berjalan. Terjadinya drainase berlebihan, tidak hanya membawa bahan toksik tetapi juga membawa hara dan mineral lainnya. Akhirnya lahan menjadi bongkor ditinggalkan petani, karena sawahnya memberikan hasil sangat rendah atau sama sekali tidak menghasilkan. Selain karena lahan tidak produktif, atau sistem tata air tidak mendukung, ada beberapa petani yang meninggalkan lahannya, karena hasil produksi pertaniannya tidak mendatangkan keuntungan yang cukup.


sumber: Budiwignyosukarto's Room

Post a Comment

 
Top