Perilaku Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) merupakan perilaku yang harus dihilangkan untuk menciptakan penyelenggaraan negara yang bersih, kuat, dan berwibawa.  Untuk menciptakan penyelenggaraan negara yang bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme maka pemerintah telah menetapkan Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyeleng garaan Negara yang Bersih dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme.

Dalam undang-undang (peraturan) tersebut dinyatakan bahwa penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif (kekuasan untuk melaksanakan Undang-Undang), legislatif (kekuasaan untuk membuat dan menetapkan Undang-Undang), dan yudikatif (kekuasaan untuk mengawasi dan mengadili pelanggaran Undang-Undang) serta pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya adalah berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 1999, yang dimaksud dengan perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah sebagai berikut.
  • Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ke tentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana korupsi. pribadi atau orang lain. Korupsi tidak hanya berupa korupsi uang, tetapi juga dapat berupa korupsi intelektual dan korupsi waktu.
  • Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama melawan hukum antara penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, atau negara.
  • Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntung kan keluarganya dan atau kroninya di atas ke pentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Perilaku KKN merupakan perilaku yang akan merusak sendi-sendi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta membahayakan eksistensi (keberadaan) negara. Hal ini dimungkinkan karena perilaku KKN akan merusak berbagai macam tatanan,
seperti hukum, politik, ekonomi, sosial, dan budaya bangsa. Berikut ini dapat dilihat bagaimana dampak perilaku KKN terhadap hukum, politik, ekonomi, dan sosial budaya.
1. Hukum
  • Sistem hukum tidak lagi berdasarkan pada prinsip-prinsip keadilan hukum.
  • Besarnya peluang eksekutif mencampuri badan peradilan.
  • Hilangnya kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
  • Sistem hukum dan peradilan dapat dikendalikan dengan uang.
  • Hilangnya perlindungan hukum terhadap rakyat terutama rakyat miskin.
  • Peradilan dan kepastian hukum menjadi bertele-tele karena di salahgunakan oleh aparat penegak hukum.
2. Politik
  • Terpusatnya kekuasaan pada pejabat negara tertentu (pemerintah pusat).
  • Daerah dan pemerintah daerah sangat bergantung pada pemerintah pusat. Hal ini mematikan daya kreasi dan inovasi daerah serta berujung kepada tindak penyuapan pejabat pusat untuk me lancarkan pembangunan daerah.
  • Lemahnya sikap mental dan moralitas para penyelenggara negara.
  • Terhambatnya kaderisasi dan pengembangan sumber daya manusia Indonesia.
  • Terjadinya ketidakstabilan politik karena rakyat tidak percaya terhadap pemerintah.
  • Diabaikannya pembangunan nasional karena penyelenggara negara disibukkan dengan membuat kebijakan populis bukan realistis.
3. Ekonomi
  • Pembangunan dan sumber-sumber ekonomi di kuasai orang yang berada di lingkaran kekuasaan.
  • Munculnya para pengusaha yang mengandalkan kebijakan pemerintah bukan berdasarkan kemandirian.
  • Rapuhnya dasar ekonomi nasional karena pertumbuhan ekonomi bukan didasarkan pada kondisi sebenarnya.
  • Munculnya para konglomerat yang tidak memiliki basis ekonomi kerakyatan.
  • Munculnya spekulan ekonomi yang menjatuhkan
  • ekonomi secara keseluruhan.
  • Hilangnya nilai moralitas dalam berusaha, yakni diterap kanya sistem ekonomi kapitalis yang sangat merugikan pengusaha menengah dan kecil.
  • Terjadinya tindak pencucian uang (money laundring) yang di lakukan pejabat dengan pengusaha yang merugikan negara.
4. Sosial Budaya
  • Hilangnya nilai-nilai moral sosial. Hal ini disebabkan masyarakat melihat banyak perilaku KKN para penyelenggara negara. Dengan demikian, rakyat pun melakukan tindakan pasif bahkan cenderung anarki.
  • Hilangnya figur pemimpin dan contoh teladan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
  • Berkurangnya tindakan menjunjung tinggi hukum, berkurangnya kepedulian dan kesetiakawanan.
  • Lunturnya nilai-nilai budaya bangsa.
Undang- Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, kemudian dilengkapi dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 memuat peraturan yang tegas tentang konsekuensi hukum bagi pelaku korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sanksi hukum bagi pelaku korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah sebagai berikut.

1. Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Berikut ini beberapa pasal dari UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantas tindak pidana korupsi, yang memberikan sanksi bagi para pelaku korupsi.
a. Pasal 2 Ayat 1
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyaknya Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Ayat 2
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
b. Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
c. Pasal 4
Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.

2. Pelaku Tindak Pidana Kolusi
Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Pasal 21, ditegaskan bahwa bagi penyelenggara negara dan anggota komisi pemeriksa yang melakukan tindakan kolusi yang merugikan negara pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

3. Pelaku Tindak Pidana Nepotisme
Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Pasal 22, ditegaskan bahwa bagi penyelenggara negara dan anggota komisi pemeriksa yang melakukan tindakan nepotisme yang merugikan negara dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Peraturan perundangan telah mengatur dengan tegas hukum an dan sanksi yang dapat dikenakan bagi pelaku tindak pidana KKN. Namun, penegakan hukum ini tidak semudah yang kita bayangkan karena membutuhkan partisipasi rakyat, ketegasan penegak hukum, dan kemauan politik para penyelenggara negara. Perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga melanggar norma agama, Pancasila, dan UUD 1945. Oleh karena itu, untuk mewujudkan hal tersebut marilah kita mulai dalam kehidupan terkecil di lingkungan kita, seperti dengan menerapkan perilaku jujur dan mandiri. Orang yang jujur akan berperilaku tidak pernah membohongi aturan dan tidak membohongi siapapun karena dia akan berpegang kepada kata hati yang terbaik dan orang yang mampu mandiri tidak akan melakukan tindakan kolusi dan nepotisme.

Post a Comment

 
Top