Dalam Pasal 35A Ayat (2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan disebutkan, kapal perikanan berbendera asing yang melakukan penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia wajib menggunakan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia paling sedikit 70 persen dari jumlah anak buah kapal.
Ketentuan itu berarti kapal perikanan berbendera asing hanya boleh mempekerjakan nelayan asing sebanyak 30 persen dari jumlah anak buah kapal (ABK).
Sementara itu, dalam Pasal 35A Ayat (1) UU No 45/2009 disebutkan, kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia wajib menggunakan nakhoda dan ABK berkewarganegaraan Indonesia.
Sesuai ketentuan Ayat (1) Pasal 35A, UU No 45/2009 yang disahkan tanggal 29 Oktober 2009 itu, kapal perikanan berbendera Indonesia wajib menggunakan 100 persen nakhoda dan ABK berkewarganegaraan Indonesia.
Kedua ketentuan itu sangat kontradiktif dengan fakta di lapangan. Saat ini, justru sudah banyak kapal perikanan berbendera Indonesia yang menggunakan atau mempekerjakan nelayan asing lebih dari 90 persen. Hal itu memperlihatkan liberalisasi di sektor perikanan—yaitu mempekerjakan nelayan-nelayan asing di kapal-kapal berbendera Indonesia di perairan Indonesia—telah berada di depan mata.
Pertanyaannya, apakah pemerintah dan masyarakat sudah siap? Apakah aparat negara siap mengawasi kapal-kapal perikanan yang berbendera Indonesia, mempekerjakan nelayan asing, dan beroperasi di laut lepas, khususnya Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)?
Apakah nelayan atau pelaut lokal sudah siap bersaing dengan nelayan asing untuk berkompetisi dalam ladang mata pencarian sebagai nelayan?
Pertanyaan itu memang tidak mudah dijawab. Namun, yang jelas, keberadaan nelayan asing di kapal perikanan berbendera Indonesia yang beroperasi di perairan Indonesia atau ZEEI cukup mengkhawatirkan.
Mengapa? Nelayan asing yang bekerja di kapal berbendera Indonesia dikhawatirkan melakukan kegiatan alih muatan kapal, berupa hasil tangkapan, (transshipment) ke kapal-kapal nelayan Thailand atau kapal-kapal pengumpul ikan dari Thailand di tengah laut.
Pelaut lokal
Selain itu, nelayan-nelayan atau pelaut-pelaut lokal semakin kehilangan kesempatan untuk dapat bekerja atau menangkap ikan dengan kapal-kapal besar di wilayah perairan Indonesia sendiri.
Fakta bahwa kapal-kapal berbendera Indonesia menggunakan nelayan asing setidaknya mulai terlihat saat kapal patroli Mabes Polri menangkap tiga kapal eks Thailand di perairan Natuna, Kepulauan Riau (Kepri), pertengahan Januari 2010.
Ketiga kapal yang ditangkap itu adalah KM Jala Komira 803, KM Mutiara Mina, dan KM Jala Komira 809. Ketiga kapal itu ditangkap karena diduga melakukan pelanggaran wilayah penangkapan.
Nakhoda ketiga kapal itu berasal dari Thailand, yaitu Piyakorn Chantapazu, Nipon Wongchai, dan Atit Sinpaksa. Dari jumlah ABK sebanyak 30 orang, hanya tiga orang berasal dari Indonesia, sisanya berasal dari Thailand (Kompas, 13/1).
Setidaknya puluhan kapal eks Thailand yang berbendera Indonesia itu berpangkalan di pelabuhan perikanan (fishing port) Barelang, Pulau Nipah, pulau kecil di sekitar Pulau Batam, Rempang, dan Galang (Barelang), Kepri. Perairan di kawasan itu cukup strategis sebagai pangkalan kapal-kapal eks Thailand yang akan beroperasi di Laut China Selatan.
Kepala Satuan Kerja (Satker) Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kota Batam Yuslibar mengakui adanya nelayan-nelayan Thailand yang bekerja di kapal-kapal eks Thailand di pelabuhan perikanan Barelang.
Menurut Yuslibar, kapal yang menggunakan jaring pukat ikan (fish net) mempekerjakan 12 nelayan asing dan 2 nelayan lokal. Kapal yang menggunakan jaring pukat cincin (purse seine) mempekerjakan 30-35 nelayan asing dan 2-5 nelayan lokal.
Terkait dengan pelabuhan perikanan Barelang itu, Betel Zebua, Manajer Operasional PT Mandra Guna Gema Sejati (PT MGGS)—perusahaan pengelola pelabuhan perikanan Barelang—mengatakan, jumlah kapal yang berpangkalan di pelabuhan itu mencapai 67 kapal.
Betel mengakui, sebagian besar kapal adalah kapal-kapal eks Thailand atau kapal nelayan Thailand yang dilelang. Kapal-kapal itu berbobot 100 ton sampai 200 ton. Kapal-kapal eks Thailand itu sudah beralih status kepemilikannya.
”Kapal-kapal itu sudah menjadi milik perusahaan di Indonesia,” kata Betel. Ia menambahkan, sebagian besar nelayan yang dipekerjakan di kapal-kapal eks Thailand itu memang merupakan nelayan-nelayan Thailand.
Betel menjelaskan, pihak PT MGGS sebenarnya hanya merupakan pengelola pelabuhan perikanan. Kapal-kapal eks Thailand yang berpangkalan di pelabuhan itu merupakan kapal-kapal milik perusahaan lain yang sudah bekerja sama dengan PT MGGS.
PT MGGS bekerja sama dengan 10 perusahaan penangkap ikan yang berasal beberapa daerah, termasuk Jakarta. ”Kerja sama dalam bentuk penangkapan ikan. Ikan yang terkumpul di bongkar di pelabuhan perikanan,” kata Betel.
Wilayah
Wilayah penangkapan ikan kapal-kapal itu, lanjut Betel, berada di Laut China Selatan. Ia menambahkan, selama tahun 2009, hasil penangkapan ikan melalui pelabuhan perikanan Barelang 400 ton sampai 500 ton.
Jumlah itu tentu sangat kecil jika dibandingkan dengan armada kapal eks Thailand yang berpangkalan di pelabuhan itu. Dari 67 kapal eks Thailand berbobot 100 ton-200 ton, dengan asumsi 20 kapal saja yang beroperasi selama 2-3 bulan dan rata-rata hasil tangkapan 20 ton per kapal, itu berarti hasil tangkapan mencapai 400 ton dalam 2-3 bulan.
Dengan minimnya hasil tangkapan, muncullah dugaan atau kekhawatiran adanya praktik alih muatan ikan yang ditangkap (trans-shipment) ke kapal-kapal nelayan Thailand atau kapal pengumpul ikan dari Thailand yang juga beroperasi di laut China Selatan.
Dugaan atau kekhawatiran itu diungkapkan Ketua Ikatan Kerukunan Keluarga Nelayan Kepulauan Anambas Tarmizi. Ia mengaku cemas terhadap kapal-kapal Indonesia dan berbendera Indonesia yang menggunakan nelayan asing. Nelayan asing yang bekerja di kapal berbendera Indonesia dikhawatirkan melakukan alih muatan kapal di tengah laut.
Bahkan, Fadel mengakui, pencurian ikan saat ini sering dilakukan menggunakan kapal-kapal bekas nelayan asing yang sudah dilelang. Untuk itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan berkoordinasi dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan untuk menangani modus pencurian ikan tersebut (Kompas, 27/1).
Sejauh mana pemerintah mampu mengawasi kapal-kapal berbendera Indonesia yang mempekerjakan nelayan-nelayan asing dan beroperasi di perairan Laut China Selatan dan ZEEI? Tanpa pengawasan yang ketat, liberalisasi nelayan asing dan keberadaan nelayan asing di kapal-kapal berbendera Indonesia jelas menjadi bumerang.
Sumber daya kelautan kemungkinan besar semakin tereksploitasi dengan praktik trans-shipment. Pelabuhan perikanan yang seharusnya dapat berkembang dengan pembangunan industri olahan sektor perikanan justru hanya menjadi pangkalan nelayan-nelayan asing yang bekerja di kapal-kapal berbendera Indonesia.
Sumber: Kompas
Post a Comment